Kasus Kaesang Pangarep, anak Presiden Joko Widodo, yang menggunakan pesawat jet pribadi telah menjadi perhatian publik. Ekonom sekaligus Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini mengatakan dalam perspektif hukum, penggunaan fasilitas mewah oleh anak pejabat negara tidak hanya menjadi obyek kritik etika dan politik, tetapi juga harus dan mutlak untuk dimajukan ke dalam ranah hukum karena sudah dalam kategori gratifikasi.
“Penelusuran hukum lebih lanjut diperlukan untuk melihat apakah ada indikasi bahwa fasilitas tersebut diterima sebagai imbalan dari pihak ketiga,” kata Didik, melalui keterangan yang diterima, Kamis (29/8).
Hal ini terutama jika pihak tersebut memiliki kepentingan tertentu yang bisa dipengaruhi oleh keputusan ayahnya sebagai Presiden.
Didik menekankan, hubungan antara Kaesang, presiden dan keluarga dengan peminjam pesawat perlu ditelusuri tidak hanya hubungannya dalam kasus pesawat jet pribadi ini tetapi juga hubungan yang pernah terjadi selama ini.
Demi yurisprudensi, seorang anak seorang pejabat negara, seperti anak presiden dalam kasus ini, menerima fasilitas atau uang dari seorang pengusaha atau pihak lain yang memiliki kepentingan tertentu, hal tersebut bisa dianggap sebagai gratifikasi.
“Meski anak tersebut bukan pejabat negara, namun ada kekhawatiran bahwa fasilitas atau uang tersebut diberikan dengan harapan mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pejabat terkait (dalam hal ini, presiden),” kata Didik.
Menurutnya, jika ini dibiarkan, maka pejabat yang berkuasa akan merasa leluasa untuk memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi.
Sekarang momentum yang tetap karena merupakan transisi dimana pejabat hukum, seperti KPK, tidak perlu khawatir dan takut terhadap kekuasaan yang otoriter sekarang.
“Jika hukum dan KPK masih khawatir terhadap kekuasaan yang transisi dan lemah seperti saat ini, maka rekyat tidak perlu berharap lagi terhadap hukum yang juga rusak karena memang telah oleh dirusak kekuasaan Jokowi,” kata Didik.
Menurutnya kasus Kaesang sudah gamblang merupakan bentuk, kelakuandan praktek gratifikasi sama persis dengan kelakuan anakl-anak pejabat masa Soeharto.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas, yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
“Jika gratifikasi diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, maka hal tersebut dianggap suap. Lingkaran keluarga yang menerima pemberikan dengan memanfaatkan kekuasaan jelas dan gamblang juga merupakan praktek gratifikasi,” lanjutnya.
Di Indonesia sudah ada kasus-kasus keluarga yang terlibat dalam korupsi dan gratifikasi terkait kekuasan orang tuanya (anak mantan Menteri Kelautan Edhy Prabowo, anak mantan gubernur Banten Ratu Atut, dan lainnya).
Meski bukan pejabat langsung yang terlibat, oknum keluarga yang memanfaatkan kekuasaan orang tuanya, maka kasus itu tidak terhindar dari hukum.
Oleh karena itu, kasus Kaesang setelah heboh secara politik di masyarakat sebagai praktek tidak patut, maka sekarang mutlak harus masuk ke ranah hukum.
“Dari kasus ini dan banyak kasus lainnya, Jokowi secara beruntun dengan kekuasaannya telah merusak hampir semua tatanan negara, pemerintahan, hukum dan bangsa ini,” kata Didik.
Dirinya mengira bersih karena tidak menerima apa pun dari pengusaha atau pihak lain, tetapi apa yang dilakukan lebih rusak dari sekedar gratifikasi karena masuk katagori “state captured corruption”.
“Tatanan hukum rusak dan hancur lebur karena membiarkan anaknya mengenyam fasilitas terindikasi tidak legal, KPK dilemahkan, hukum dipakai sebagai ancaman pengritik atau lawannnya. Jadi kasus Kaesang ini harus dilanjutnya secara serius agar hukum tegak kembali,” tutupnya.